JAKARTA, KOMPAS.com – Perbedaan pendapat memang merupakan hal yang wajar. Tak terkecuali dalam pilihan politik. Namun saat ini, perbedaan politik memicu debat panjang, dua belah pihak bersitegang, bahkan mengarah pada permusuhan. Ketika hal ini terjadi pada lingkup keluarga, apa yang harus kita lakukan?
Pakar Ilmu Sosial, Budaya dan Komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr. Devie Rachmawati, M. Hum., CPR menyarankan agar hal tersebut dihindari. Ia mengingatkan agar kita memikirkan dampak jangka panjang dari perdebatan pandangan politik yang mungkin terjadi.
“Jangan mengorbankan sesuatu jangka pendek untuk yang jangka panjang,” kata Devie ketika ditemui seusai peluncuran kampanye “Mari Bicara, Indonesia!” di Museum Nasional, Selasa (15/1/2019).
Itulah mengapa penting adanya peraturan ketat untuk grup-grup keluarga, baik di media sosial seperti Facebook atau pun aplikasi chat seperti What’s App. Misalnya, grup diperuntukkan pembahasan seputar urusan keluarga. Sementara pembicaraan di luar itu, bisa dibentuk grup baru yang berbeda.
Intinya, perselisihan antar-anggota keluarga karena adanya perbedaan pendapat atas sesuatu sebaiknya dihindari atau diminimalisasi.
“Karena ingat, ketika Anda meninggal yang menguburkan bukan capres tapi keluarga yang ada di WA group,” tuturnya.
Walau perselisihan sudah terjadi, hubungan tetap dapat diperbaiki. Devie menyarankan salah satu pihak punya inisiatif untuk memulai lagi komunikasi. Untuk meluruhkan pihak lainnya, makanan atau minuman bisa menjadi jembatan. Percakapan mungkin memang berjalan kaku pada awalnya, namun perselisihan tersebut bisa saja luntur seiring berjalannya waktu.
“Karena percayalah, pasti kita sama-sama lupa. Apalagi masyarakat kita terkenal mudah lupa. Yang susah adalah inisiatif, siapa yang mau memulai duluan (bicara),” ujarnya.